HAYUKABOGOR.COM – Di sudut tenang Kecamatan Parungpanjang, Kabupaten Bogor, hidup sebuah warisan tradisi yang terus bertahan di tengah derasnya arus modernisasi. Anyaman bambu, yang mungkin terlihat sederhana bagi sebagian orang, di tangan para pengrajin di Kampung Salimah, Desa Gintung Cilejet, menjadi sebuah karya seni yang penuh makna. Mereka bukan hanya menganyam bambu, tetapi juga menganyam masa depan.
Aya Susi Damayanti, salah satu sosok di balik usaha ini, berbagi cerita penuh inspirasi. Ia menjelaskan bahwa pengrajin di daerahnya sebagian besar adalah keluarga yatim dan dhuafa yang tinggal di Istana Yatim Baitul Qurro. Dari tangan-tangan cekatan mereka, anyaman besek bambu—kerajinan yang dahulu hanya dipandang sebagai wadah tradisional—kini menjadi primadona, bahkan di tengah era modern yang serba digital.
“Pengrajin ini adalah bagian dari keluarga besar yatim dan dhuafa di sekitar Baitul Qurro,” ujar Ayya. Ia bercerita bahwa hasil kerajinan mereka tak hanya diminati di kawasan Jabodetabek, tapi juga menembus pasar internasional. Bahkan, turis dari Australia turut menjadi pelanggan setia.
Apa yang membuat besek bambu ini begitu istimewa? Bagi Ayya, jawabannya sederhana namun bermakna dalam: “kualitas dan keunikan”. Meskipun dihadapkan pada banyak pesaing yang menawarkan harga lebih murah, Ayya dan timnya tetap optimis bahwa keunggulan kerajinan mereka akan terus membuatnya dicari.
“Kami tetap yakin, besek bambu kami punya kualitas dan ciri khas yang tidak dimiliki oleh produk lain,” katanya dengan penuh semangat.
Pemesanan besek bambu ini dilakukan melalui aplikasi WhatsApp, melayani kebutuhan lembaga, dinas, perusahaan, hingga acara-acara lokal di Parungpanjang. Dengan variasi harga yang ditawarkan, mulai dari Rp50 ribu per unit, para pengrajin ini mampu meraup omset bulanan sebesar Rp15 juta hingga Rp30 juta. Angka yang bagi sebagian orang mungkin tak besar, namun bagi komunitas ini adalah penghidupan.
“Alhamdulillah, dari penjualan ini, operasional Baitul Qurro dapat berjalan, termasuk pembiayaan pendidikan anak-anak yatim. Bahkan, jika ada yang sakit, dana dari hasil penjualan ini turut digunakan untuk membantu biaya pengobatan,” tambah Ayya.
Di tengah segala keterbatasan, komunitas pengrajin bambu di Gintung Cilejet ini membuktikan bahwa tradisi bisa menjadi jembatan bagi masa depan yang lebih baik. Dengan setiap anyaman yang mereka hasilkan, mereka tidak hanya menghidupi diri sendiri, tetapi juga membangun harapan bagi generasi selanjutnya.